Sabtu, 19 Oktober 2013

Pelangi Senja



Sore itu benar-benar dingin, angin-angin senja yang berhembus membuatku terlelap dalam dinginnya sore ini. Entah mengapa sudah dari siang hujan tak henti juga. Mungkin langit mengerti tentang apa yang kurasakan saat ini, hingga langit ikut menangis bersamaku. Jam dindingku sudah menunjukkan pukul 18.00 WIB, langit begitu gelap dan tetap hujan, aku tersadar aku takkan mungkin melihatpelangi hari ini. Begitulah keadaan hatiku saat ini.

Luka di hatiku belum tertutup juga, sudah hampir 1 hari aku melewati semuanya tanpa Aldo, tapi entah mengapa luka hatiku dan kekecewaanku padanya belum juga usai, aku belum memaafkannya. Perlakuan Aldo begitu kejam! Begitu teganya dia membuat aku menangis hari ini. Begitu teganya dia berdua dengan gadis itu di hadapanku, sementara statusku saat itu adalah dan masih sebagai pacarnya. Sungguh aku tak menyangka kejadian ini akan terjadi.

Pagi hari aku bangun dari tidurku, sinar mentari pagi yang menembus kamarku dengan angin pagi itu membuatku tenang, namun aku tetap merasakan sakit yang menusuk hatiku. Aku tak bisa.. aku tak bisa bertemu dengannya hari ini di sekolah! Sungguh aku tak tahan dengan semua ini.

“Bel, aku mau nanya soal yang kemaren. Aku gak nyimak soalnya, jadi nggak tau gitu.. kamu mau nggak ngasih tau aku?” Roby benar-benar mengagetkan aku yang sedang meratapi nasibku yang malang ini, benar-benar tidak sopan.
“Apa-apaan kamu, By! Sopan dong! Ngapain kamu nanya-nanya tentang itu? Privasi tau! Ngerti kamu!” aku benar-benar marah diingatkan tentang kejadian kemarin, aku pergi meninggalkannya, tapi dia menahan tanganku.
“Bel.. Bella! Kamu ngo..”
Aku memotong omongannya, “Apaan pegang-pegang! Lepasin!” aku memaksa.
“Kamu sih, masa aku nanya soal yang di kasih Bu Nina kemaren salah sih.. malah bilang itu privasi lagi, apa-apaan coba”
PLAK! Aku merasa malu saat itu, “Oh.. maaf, By. Aku nggak tau kamu nanya itu, aku nggak ngerti soal itu. Kamu nanya yang lain aja”
Roby tetap kaget dan memerhatikanku dengan raut wajah yang benar-benar heran. Aku sangat malu dan sangat merasa bersalah atas kejadian itu. Roby orang baik, dia selalu membantuku, dan mengajariku. Aku benar-benar bersalah padanya.

Krriiinggg…
Akhirnya saat yang kutunggu tiba, saat dimana aku bisa istirahat di kamarku tanpa melihat Aldo dan Chika yang selalu berdua di hadapanku. Sepertinya dia benar-benar senang putus dariku, tak ada penyesalan terlihat di wajahnya. Sungguh malang nasibku.

Aku berjalan sambil memandang kosong ke depan, sampai hari ini aku masih menyesali semua yang telah terjadi antara aku dan Aldo, semua begitu singkat, hingga waktu serasa berlari dan membiarkan aku tertinggal.
Tiiittt.. suara klakson motor yang mengagetkanku.
“Bella.. kok kamu melamun sih?”
“Roo..Ro.. Roby! kamu ngapain di sini? Ngikutin aku ya! Lagian kamu kok kepo banget sih!”
“Yee siapa bilang ngikutin kamu! Hiii pede! Ini masih daerah sekitar sekolah kok, dan memang rumah kita searah” jelas Roby padaku, dia mematikan motornya, dia mendorong motornya dan mengikutiku berjalan, “Eh.. maaf nih, Bel. Kamu kenapa ya? Kok hari ini kusut terus mukanya? Terus gak sama Aldo lagi pulangnya. Maaf nih kalo kepo..”
Aku melotot sambil menatap Roby dengan perasaan yang sangat kesal, “Maksud kamu!”
“Em.. enggak sih, Bel.. soalnya kan kemarin-kemarin wajah kamu selalu senyum, fresh dan manis, tapi ini? Kok mendadak kusut gini? Udah gitu pulang sendiri lagi, biasanya kan sama Aldo”
Aku menangis, spontan Roby menurunkan cagak motornya dan memelukku dengan erat, menepuk pelan pundakku.
“Bel.. udah udah.. ntar orang mikir aku orang jahat. Kamu jangan nangis dong.. udahan nangisnya, Bel.”
Ntah kenapa saat aku menangis, langit ikut menangis, tak berapa lama setelah aku menangis, hujan pun tiba, “Bel, udahan dong, tuh liat hujan datang karena kamu nangis.”
Aku tak peduli, aku tetap menangis di pundak Roby, entah kenapa walaupun hujan membasahi kami, pelukannya tetap menghangatkanku. Aku tak merasa kedinginan sama sekali. Aku merasa tenang saat dipeluknya, dan saat dekat dengannya. Perasaan yang sebelumnya tak pernah kurasakan saat aku bersama Aldo.

Perlahan aku melepas pelukan itu dan dia mengantarku pulang walaupun hujan, “Makasih ya, By udah mau pinjemin pundak kamu dan mau ngantar aku pulang”
“Iya, Bel. Kamu jangan nangis lagi ya, aku pamit ya, Bel” dia tersenyum dan begitu saja pergi dari hadapanku.
Sudah jam 6. Aku melihat pelangi senja, sangat indah, membawa kehangatan dan senyum setelah hujan turun. Begitulah Roby, saat hujan turun di hatiku, dia datang memberi kehangatan dan sebuah senyum baru. Pelangi senja Roby.. menyuruhku untuk menutup semua kesedihan hari ini, dan menyuruhku untuk merasakan kehangatan pelangi senja.

Besoknya saat pulang sekolah jam 2 siang, udara siang itu sangat menusuk ubun-ubun, sangat panas. Roby mengajakku ke suatu tempat, katanya aku akan tenang di sana melepas semua masalahku dengannya. Aku sudah berjanji akan bercerita dengan Roby.
“Nah.. di sini tempatnya..” Roby membawaku ke sebuah rumah pohon, kelihatan sangat indah dari bawah, “nah.. kamu mau naik kan? Kita bisa cerita-cerita di atas sana.”
“Tapi kamu naik duluan, By!”
Sampai di atas dan kami berdua saja di sana, kami duduk di depan pintu rumah pohon itu, kata Roby, itu hadiah ulang tahun dari papanya saat dia berumur 14 tahun. Rumah pohon ini tidak terlalu jauh dari rumahku. Dan dari sini, aku bisa melihat rumahku. Semua terlihat indah saat aku melihatnya dari atas.
“Jadi, Bel.. kamu sebenarnya kenapa?”
Aku terdiam, langit mendung, dan aku mulai bercerita, “Jadi.. 2 hari yang lalu..” air mataku mulai menetes, hujan pun begitu, “aku liat Aldo sama Chika, Aldo nembak Chika.. da..dan..” tangisanku makin keras, “itu semua.. terjadi.. di.. di.. de..depan..k..kuuu” aku menangis, terlihat Roby sangat kaget. Kali ini aku langsung spontan meletakkan kepalaku di pundaknya, aku menangis lagi, ia memelukku seperti kemarin. Hujan pun mulai deras, Roby memelukku, menepuk pelan pundakku dan sesekali mengelus rambutku dengan sangat halus.
“Kamu cantik, Bel.. kamu pintar. Harusnya kamu tetap semangat walaupun ini terjadi sama kamu. Kamu harus sabar, mungkin dia bukan jodoh kamu. Kamu masih muda, hidup kamu masih panjang! Masa hal seperti ini buat kamu jatuh! Aku nggak suka liat kamu nangis, langit juga! Tuh lihat, langit ikutan sedih gara-gara kamu..”
Kata-kata yang menusuk telingaku, aku bangkit dari pundak itu dan mengusap air mataku, hujan berhenti. Mungkin langit memang mengerti isi hatiku.

Sudah jam 6 sore, tak terasa waktu begitu cepat berlalu saat aku bersamanya, “kamu benar, By. Makasih ya udah mau nemenin aku dari semalam aku nangis. Kamu memang pelangi senja yang aku nanti dari dulu!” tepat saat aku berkata itu, pelangi senja muncul di atas kami, sekejap aku melihat pelangi senja di langit, dan aku menatap pelangi senja yang ada di sisiku, menemaniku saat aku dan hatiku kehujanan, dan benar-benar ada saat hujan itu reda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar