Selasa, 22 Oktober 2013

PUJANGGA TERDIAM

Menatap wajahmu membuatku tak ingin berkedip
mendengar suaramu membuatku tak mampu berkata
keindahanmu...senyummu
mengambil alih semua kalimat para pujangga
wahai gadisku......
hadirmu di sini membuat semesta menghembuskanindahya
wahai gadisku...
keindahanmu tak luntur oleh syair indah
hingg pujanggapun terdiam.

BAIT DALAM KEPALA

terasa lepas kala secarik kertas bercumbu dengan pena
merangkum beribu rasa yang berserakan di dada
dia yang namanya tertera...
selipkan satu kata yang entah apa namanya...,
sayup mata namun tak terpejam..
seperti letupan rasa yang mungkin akan selamanya terpendam
sebab arang telah patah
meski anak panah belum sepenuhnya terarah.
ku coba acuh agar tak tengelam dalam wajah teduhnya
sebab saat pandang bersua..,
tak perna ada sejumput katapun keluar
bahkan bukan sekali aku coba berkoar
hanya mampu merangkai bait dalam kepala
sebab lidah tak mampu berkata

Senin, 21 Oktober 2013

" ? "



????????????????????????
????????????????????????
????????????????????????
ah.....!!!
mana bisa kau menahan hembusan angin..?
begitu juga aku..!

Minggu, 20 Oktober 2013

kata siapa...!!

Mencintai memang TAK HARUS menikahi. Ada cinta-cinta yang harus diabaikan dan dihapuskan. Yaitu cinta-cinta yang dulunya sempat hadir di jiwa kita tapi tak bertemu di pintu nikah. Abaikan cinta-cinta semacam itu, karena jika masih kau pelihara dalam jiwa, cinta itu yang bakal membuat kebahagiaanmu terenggut sepanjang hidup. Mencintai memang tak selalu berujung dengan menikahi. Cinta memang tak selalu mewajibkan untuk memiliki. Tapi satu yang pasti, bahwa berkomitmen untuk mencintai yang telah kau nikahi, itulah yang menjanjikan kebahagiaan hidupmu.

Sabtu, 19 Oktober 2013

Pelangi Senja



Sore itu benar-benar dingin, angin-angin senja yang berhembus membuatku terlelap dalam dinginnya sore ini. Entah mengapa sudah dari siang hujan tak henti juga. Mungkin langit mengerti tentang apa yang kurasakan saat ini, hingga langit ikut menangis bersamaku. Jam dindingku sudah menunjukkan pukul 18.00 WIB, langit begitu gelap dan tetap hujan, aku tersadar aku takkan mungkin melihatpelangi hari ini. Begitulah keadaan hatiku saat ini.

Luka di hatiku belum tertutup juga, sudah hampir 1 hari aku melewati semuanya tanpa Aldo, tapi entah mengapa luka hatiku dan kekecewaanku padanya belum juga usai, aku belum memaafkannya. Perlakuan Aldo begitu kejam! Begitu teganya dia membuat aku menangis hari ini. Begitu teganya dia berdua dengan gadis itu di hadapanku, sementara statusku saat itu adalah dan masih sebagai pacarnya. Sungguh aku tak menyangka kejadian ini akan terjadi.

Pagi hari aku bangun dari tidurku, sinar mentari pagi yang menembus kamarku dengan angin pagi itu membuatku tenang, namun aku tetap merasakan sakit yang menusuk hatiku. Aku tak bisa.. aku tak bisa bertemu dengannya hari ini di sekolah! Sungguh aku tak tahan dengan semua ini.

“Bel, aku mau nanya soal yang kemaren. Aku gak nyimak soalnya, jadi nggak tau gitu.. kamu mau nggak ngasih tau aku?” Roby benar-benar mengagetkan aku yang sedang meratapi nasibku yang malang ini, benar-benar tidak sopan.
“Apa-apaan kamu, By! Sopan dong! Ngapain kamu nanya-nanya tentang itu? Privasi tau! Ngerti kamu!” aku benar-benar marah diingatkan tentang kejadian kemarin, aku pergi meninggalkannya, tapi dia menahan tanganku.
“Bel.. Bella! Kamu ngo..”
Aku memotong omongannya, “Apaan pegang-pegang! Lepasin!” aku memaksa.
“Kamu sih, masa aku nanya soal yang di kasih Bu Nina kemaren salah sih.. malah bilang itu privasi lagi, apa-apaan coba”
PLAK! Aku merasa malu saat itu, “Oh.. maaf, By. Aku nggak tau kamu nanya itu, aku nggak ngerti soal itu. Kamu nanya yang lain aja”
Roby tetap kaget dan memerhatikanku dengan raut wajah yang benar-benar heran. Aku sangat malu dan sangat merasa bersalah atas kejadian itu. Roby orang baik, dia selalu membantuku, dan mengajariku. Aku benar-benar bersalah padanya.

Krriiinggg…
Akhirnya saat yang kutunggu tiba, saat dimana aku bisa istirahat di kamarku tanpa melihat Aldo dan Chika yang selalu berdua di hadapanku. Sepertinya dia benar-benar senang putus dariku, tak ada penyesalan terlihat di wajahnya. Sungguh malang nasibku.

Aku berjalan sambil memandang kosong ke depan, sampai hari ini aku masih menyesali semua yang telah terjadi antara aku dan Aldo, semua begitu singkat, hingga waktu serasa berlari dan membiarkan aku tertinggal.
Tiiittt.. suara klakson motor yang mengagetkanku.
“Bella.. kok kamu melamun sih?”
“Roo..Ro.. Roby! kamu ngapain di sini? Ngikutin aku ya! Lagian kamu kok kepo banget sih!”
“Yee siapa bilang ngikutin kamu! Hiii pede! Ini masih daerah sekitar sekolah kok, dan memang rumah kita searah” jelas Roby padaku, dia mematikan motornya, dia mendorong motornya dan mengikutiku berjalan, “Eh.. maaf nih, Bel. Kamu kenapa ya? Kok hari ini kusut terus mukanya? Terus gak sama Aldo lagi pulangnya. Maaf nih kalo kepo..”
Aku melotot sambil menatap Roby dengan perasaan yang sangat kesal, “Maksud kamu!”
“Em.. enggak sih, Bel.. soalnya kan kemarin-kemarin wajah kamu selalu senyum, fresh dan manis, tapi ini? Kok mendadak kusut gini? Udah gitu pulang sendiri lagi, biasanya kan sama Aldo”
Aku menangis, spontan Roby menurunkan cagak motornya dan memelukku dengan erat, menepuk pelan pundakku.
“Bel.. udah udah.. ntar orang mikir aku orang jahat. Kamu jangan nangis dong.. udahan nangisnya, Bel.”
Ntah kenapa saat aku menangis, langit ikut menangis, tak berapa lama setelah aku menangis, hujan pun tiba, “Bel, udahan dong, tuh liat hujan datang karena kamu nangis.”
Aku tak peduli, aku tetap menangis di pundak Roby, entah kenapa walaupun hujan membasahi kami, pelukannya tetap menghangatkanku. Aku tak merasa kedinginan sama sekali. Aku merasa tenang saat dipeluknya, dan saat dekat dengannya. Perasaan yang sebelumnya tak pernah kurasakan saat aku bersama Aldo.

Perlahan aku melepas pelukan itu dan dia mengantarku pulang walaupun hujan, “Makasih ya, By udah mau pinjemin pundak kamu dan mau ngantar aku pulang”
“Iya, Bel. Kamu jangan nangis lagi ya, aku pamit ya, Bel” dia tersenyum dan begitu saja pergi dari hadapanku.
Sudah jam 6. Aku melihat pelangi senja, sangat indah, membawa kehangatan dan senyum setelah hujan turun. Begitulah Roby, saat hujan turun di hatiku, dia datang memberi kehangatan dan sebuah senyum baru. Pelangi senja Roby.. menyuruhku untuk menutup semua kesedihan hari ini, dan menyuruhku untuk merasakan kehangatan pelangi senja.

Besoknya saat pulang sekolah jam 2 siang, udara siang itu sangat menusuk ubun-ubun, sangat panas. Roby mengajakku ke suatu tempat, katanya aku akan tenang di sana melepas semua masalahku dengannya. Aku sudah berjanji akan bercerita dengan Roby.
“Nah.. di sini tempatnya..” Roby membawaku ke sebuah rumah pohon, kelihatan sangat indah dari bawah, “nah.. kamu mau naik kan? Kita bisa cerita-cerita di atas sana.”
“Tapi kamu naik duluan, By!”
Sampai di atas dan kami berdua saja di sana, kami duduk di depan pintu rumah pohon itu, kata Roby, itu hadiah ulang tahun dari papanya saat dia berumur 14 tahun. Rumah pohon ini tidak terlalu jauh dari rumahku. Dan dari sini, aku bisa melihat rumahku. Semua terlihat indah saat aku melihatnya dari atas.
“Jadi, Bel.. kamu sebenarnya kenapa?”
Aku terdiam, langit mendung, dan aku mulai bercerita, “Jadi.. 2 hari yang lalu..” air mataku mulai menetes, hujan pun begitu, “aku liat Aldo sama Chika, Aldo nembak Chika.. da..dan..” tangisanku makin keras, “itu semua.. terjadi.. di.. di.. de..depan..k..kuuu” aku menangis, terlihat Roby sangat kaget. Kali ini aku langsung spontan meletakkan kepalaku di pundaknya, aku menangis lagi, ia memelukku seperti kemarin. Hujan pun mulai deras, Roby memelukku, menepuk pelan pundakku dan sesekali mengelus rambutku dengan sangat halus.
“Kamu cantik, Bel.. kamu pintar. Harusnya kamu tetap semangat walaupun ini terjadi sama kamu. Kamu harus sabar, mungkin dia bukan jodoh kamu. Kamu masih muda, hidup kamu masih panjang! Masa hal seperti ini buat kamu jatuh! Aku nggak suka liat kamu nangis, langit juga! Tuh lihat, langit ikutan sedih gara-gara kamu..”
Kata-kata yang menusuk telingaku, aku bangkit dari pundak itu dan mengusap air mataku, hujan berhenti. Mungkin langit memang mengerti isi hatiku.

Sudah jam 6 sore, tak terasa waktu begitu cepat berlalu saat aku bersamanya, “kamu benar, By. Makasih ya udah mau nemenin aku dari semalam aku nangis. Kamu memang pelangi senja yang aku nanti dari dulu!” tepat saat aku berkata itu, pelangi senja muncul di atas kami, sekejap aku melihat pelangi senja di langit, dan aku menatap pelangi senja yang ada di sisiku, menemaniku saat aku dan hatiku kehujanan, dan benar-benar ada saat hujan itu reda.

"kuminta kau mendua"




“Hatiku yang merasakan kejenuhan ini. Saat ku tak mampu tuk membuatmu bahagia. Pikirku yang tak wajar mengharapkan dirimu. Berbagi cinta dengan yang lain, tak mengapa mungkin hati kan terima. Bukannya ku tak mencintai dirimu. Hanya saja yang ku rasa begini adanya. Sekian lama kau bertahan meski ku abaikan. Biar kau cari cinta yang lain. Usah kau risaukan hatiku kan rela. Melepaskanmu… Namun, tak selamanya hanya sesaat saja. Saat ku tak mampu buatmu bahagia. Andaikan nanti ku ingin kau kembali. Telah kusiapkan hatiku memilikimu seutuhnya. Kini hanya kuminta kau mendua.”

Begitulah untaian kata yang ku tulis dalam diaryku saat ini. Mungkin terlihat aku sangat egois dari baris kata itu. Tapi, memang begitu adanya. Ungkapan hati yang terpendam dan sakit untuk dirasakan. Syahdu, ya… aku biasa di panggil Syahdu oleh kebanyakan teman. Syahdu Mutia, diusiaku yang kini beranjak 18 tahun, tak mungkin bila tak ada kegundahan dalam bercinta.
“Syahdu!”, seru Tian
“ia… why?”, singkatku menjawab
“ntar malem aku kerumahmu ya? sekalian aku mau ngajak kamu keluar. Kan kita lama nggak jalan bareng…”, ajak Tian seraya memegang tanganku
“hmmmb… sory Tian sayang! aku nggak bisa. Tugas kampusku banyak…”, rintihku menolak
“tuh kan selalu nggak bisa”,
“ia nanti pasti bisa… tapi nggak buat malam ini, ya sudah aku pulang dulu ya? kamu hati-hati di jalan”, pesanku dengan meninggalkan Tian

Bastian Prananta, yang cukup simple ku panggil Tian. Kekasihku yang sudah 2 tahun kujalani cinta dengannya. Namun entah, seperti yang ku tulis di diaryku, perasaanku kini jenuh, bosan dan teringat masa lalu. Aku pun binggung kenapa perasaanku menjadi begini, meningat dia tepatnya. Cinta pertamaku yang meninggalkanku yang akhirnya ku menemukan Tian sebagai pengobat lara itu. Meninggalkanku untuk selamanya, dengan kisah dan juga pilu yang setidaknya masih terngiang difikiranku kini.

Ingin rasanya aku meninggalkan Tian. Namun, tidak untuk selamanya melainkan hanya untuk sementara saja. Sampai hatiku kini benar-benar lega. Aku harus bilang ini pada Tian, ya sakit memang bila dirasa-rasa. Tapi, aku juga sakit bila harus memaksa perasaanku dan melihat Tian sangat mengharapkanku tanpa ada balasan yang pasti. Aku harus terima resiko apapun atas apa keputusanku ini.
“hey say… aku mau ngomong sama kamu. Penting!”, ucapku dengan menarik tangan Tian membawa dia jauh dari keramaian kampus
“serius banget sih, okay ngomong aja”,
“Tian, maaf sebelumnya. Jujur, aku sayang kamu, aku cinta kamu, aku nggak mau kehilangan kamu, aku nggak rela kamu jadi milik yang lain, aku…”, omongku terhenti saat Tian tiba-tiba memelukku
“ssssttttt, kamu kenapa sayang… ia aku pasti tahu itu”, ujar Tian menenangkanku
“Tian aku harus lakuin ini, aku nggak bisa terus maksain perasaanku dengan membohongi diriku sendiri. Tian untuk saat ini aku minta kamu buat mencari yang lain saja ya. Maksud aku, kamu cari cewek lain namun untuk sementara saja sampai aku bener-bener bisa nerima kamu. Hmmmb, aku cinta sama kamu, tapi…”, perkataanku tergantung seraya menangis
“tapi apa… kamu masih belum bisa ngelupain dia. Dia sudah nggak ada Syahdu… he is death!. Mau kamu mengharap dia sampai kapanpun dia nggak akan pernah kemabali. Okay… kalau itu memang permintaan kamu, aku bisa terima. Tapi entah nanti… Syahdu, just you know “I always love you.”
Begitupun perkataan Tian diakhir pertemuan tadi. “I always love you” dan pastinya aku selalu berharap itu Tian, aku juga akan selalu menjaga perasaan ini sampai aku benar-benar bisa menerimamu lagi.

Satu bulan sudah rasanya berlalu begitu cepat. Tak terasa sudah satu bulan ini pula Tian tak pernah menhubungiku, ya wajarlah pasti dia sakit hati.
“Syahdu, ayo kita makan di luar. Lama kan kamu nggak jalan-jalan keluar nggak sumpek tuh?”, ajak Dira temanku
“hmmmb… okey. Let’s go friend”,

Tak lama, sekitar 20 menitlah aku udah sampai di cafe.
“eh Du… lihat! itu Tian kan… sama siapa dia? bukannya itu Trisa kan?”, ucap Dira dengan menunjuk ke arah Tian
“what… nooooo! Trisa… Tian… nggak! masak ia Tian menduanya sama Trisa sih. Nggak! aku nggak rela. Aku nggak mau kehilangan Tian. Cukup Krisna aja yang pergi tapi nggak buat Tian”, celotehku di depan meja makan
“maksudnya apa Du… aku nggak paham! Kenapa Krisna sama Tian disangkut-sangkutin?”, hati Dira bertanya-tanya

Sepulang dari café, Syahdu langsung menghubungi Tian. Untuk mengajaknya bertemu di kampus tempat mereka biasa bertemu.
“sudah mengingat masa lalu kamu itu?”, ucap Tian yang datang dengan sinis
“Tian… kok gitu. Aku cuma mau bilang, aku mohon kamu tinggalin Trisa. Aku mohon!”,
“gampang ya jadi kamu… egois, nggak sedikitpun mengerti aku. Dulu kamu minta ku mendua, setelah ku menurutimu kau meminta ku memutuskannya!”, Tian mengumbar amarahnya
“jadi maksud kamu kamu cinta sama Trisa? bukannya aku sudah bilang kan dari awal aku memang menyuruhmu mendua, namun hanya untuk sesaat Tian bukan untuk selamanya. Aku masih mencintaimu”, rintih Syahdu menangis
“huuuhhhh”, Tian menghela nafas
“okay Tian okay… aku memang salah telah mempermainkan perasaanmu dengan menyuruhmu mendua. Aku fine-fine aja kalau kamu menduanya dengan cewek lain bukan Trisa. Bahkan aku malah yang akan menunggumu sampai kamu memutuskannya. Tapi ini Trisa… aku nggak bisa terima itu”, jelasku panjang
“apa hak kamu… apa! bukannya kamu sudah nggak memperdulikanku lagi ia kan!” bentak Tian
“kamu salah justru dengan menyuruhmu putus dengan Trisa aku sangat memperdulikanmu. Asal kamu tahu Tian, Trisa lah yang membuat aku kehilangan Krisna kekasihku sekaligus cinta pertamaku sebelum aku mencintaimu. Tapi, setelah bertahun-tahun aku menjalani hubungan dengan Krisna, Trisa datang dengan tipu muslihatnya. Dia sangat perhatian dengan Krisna, memberi pengakuan palsu atasku pada Krisna. Hingga saat itu Krisna meninggalkanku dan lebih memilih Trisa. Namun setelah Krisna memberikan semuanya pada Trisa, cinta, kasih sayang, perhatian, materi, harta. Trisa malah mencampakan Krisna dia meninggalkan Krisna dan pergi bersama pria lain. Kamu pasti merasakan itu, bagaimana bila kamu di posisi Krisna saat itu. Krisna sangat terpukul oleh keadaan yang akhirnya membuat dia untuk mengakhiri hidup dengan cara bunuh diri. Itulah yang membuat ku memohon padamu untuk meninggalkan Trisa. Aku nggak mau kehilangan kamu Tian, aku sangat mencintaimu. Sekarang semua kuserahkan padamu Tian. Yang pasti aku berharap kamu mengerti itu dan berharap kata ‘ I always love you’ selalu terucap untukku”, lanjut jelasku dengan beralih pergi
“Syahdu… I always love you sayang, aku akan selalu ingat ucapan ku dulu. Dulu, sekarang, nanti, besok dan selamanya. Aku akan selalu mencintaimu. Aku nggak sungguhan kok sama Trisa, aku akan meninggalkan dia. Tenang ya, aku akan selalu menjagamu sampai akhir hayat nanti”.


Kamis, 17 Oktober 2013

TAK HARUS MEMILIKI

Mencintai memang TAK HARUS menikahi. Ada cinta-cinta yang harus diabaikan dan dihapuskan. Yaitu cinta-cinta yang dulunya sempat hadir di jiwa kita tapi tak bertemu di pintu nikah. Abaikan cinta-cinta semacam itu, karena jika masih kau pelihara dalam jiwa, cinta itu yang bakal membuat kebahagiaanmu terenggut sepanjang hidup. Mencintai memang tak selalu berujung dengan menikahi. Cinta memang tak selalu mewajibkan untuk memiliki. Tapi satu yang pasti, bahwa berkomitmen untuk mencintai yang telah kau nikahi, itulah yang menjanjikan kebahagiaan hidupmu.